Ahlussunnahcianjur’s Weblog

Just another WordPress.com weblog

  • Kategori

  • Arsip

Bagi yang Suka Ramalan Bintang

Posted by ahlussunnahcianjur pada Juli 25, 2008

Astrologi Dalam Islam

Bagi teman teman yang suka  dengan ramalan bintang,saya tampilkan artikel yang saya ambil dari http://www.darussalaf.or.id,selamat membaca
Astrologi Dalam Islam

Penulis: Al Ustadz Ahmad Hamdani

“Motivasi yang menggebu-gebu untuk mengejar tujuan sangat membantu karier atau studi. Kali ini adalah peluang baik untuk memulai obsesi yang terpendam selama ini. Buatlah kesempatan.”

Tunggu dulu! Jangan terburu-buru saudara menyangka saya mengetahui masa depan dan aktivitas saudara terutama bagi saudara yang terlahir pada tanggal 23 Oktober – 21 November atau seringnya orang menyebut saudara berbintang Scorpio. Akan tetapi kalimat di atas adalah secuplik kalimat ramalan astrolog yang kami ambil dari sebuah koran ternama di kota pelajar dalam rubrik perbintangan.

Dilihat dari nama rubriknya, dapat diketahui bahwa dasar pemikiran para astrolog atau yang sejalan pemikirannya dengan mereka adalah letak dan konfigurasi bintang-bintang di langit. Misalnya, bila letak gugusan bintang Bima Sakti di arah A lalu kebetulan ada seorang bayi lahir tepat pada malam ketika bintang itu terbit maka diramalkan bayi itu akan menjadi orang terkenal setelah besar nanti.

Apabila kita perhatikan ramalan di atas, akan terlihat bahwa si peramal mencoba atau seolah- olah mengetahui hal-hal ghaib. Seakan ia mampu membaca dan menentukan nasib seseorang. Dengan dasar ini ia memerintah dan melarang pasiennya untuk berbuat sesuatu. Bahkan ia sering menakut-nakutinya meskipun akhirnya memberi kabar gembira atau hiburan dengan kata- kata manis. Bagi orang yang senang akan rubrik seperti tersebut di atas atau yang suka membaca buku-buku astrologi (ramalan-ramalan bohong) terkadang ramalan itu cocok dengan keadaan yang di alami. Namun yang menjadi permasalahan, darimana pikiran peramal itu mencuat? Bagaimana pandangan Islam terhadap masalah ini?

Sesungguhnya perkara-perkara ghaib hanyalah Allah yang mengetahui. Dan ini adalah hak prerogatif Allah semata, selain makhluk yang Ia beritahukan tentangnya, seperti sebagian Malaikat dan para Rasul sebagai mukjizat. Dalam hal ini, Allah berfirman :

“(Dia adalah Rabb) Yang mengetahui yang ghaib. Maka Dia tidak memperlihatkan kepada seseorang pun tentang yang ghaib itu kecuali kepada Rasul yang diridlai-Nya. Maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (Malaikat) di muka bumi dan di belakangnya.” (QS. Al Jin : 26-27)

Barangsiapa mengaku mengetahui perkara atau ilmu ghaib selain orang yang dikecualikan sebagaimana ayat di atas, maka ia telah kafir. Baik mengetahuinya dengan perantaraan membaca garis-garis tangan, di dalam gelas, perdukunan, sihir, dan ilmu perbintangan atau selain itu. Yang terakhir ini yang biasa dilakukan oleh paranormal. Bila ada orang sakit bertanya kepadanya tentang sebab sakitnya maka akan dijawab : “Saudara sakit karena perbuatan orang yang tidak suka kepada saudara.” Darimana dia tahu bahwa penyebab sakitnya adalah dari perbuatan seseorang, sementara tidak ada bukti-bukti yang kuat sebagai dasar tuduhannya? Sebenarnya hal ini tidak lain adalah karena bantuan jin dan para syaithan. Mereka menampakkan kepada khalayak dengan cara-cara di atas (melihat letak bintang, misalnya) hanyalah tipuan belaka.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : “Para dukun dan yang sejenis dengan mereka sebenarnya mempunyai pembantu atau pendamping (qarin) dari kalangan syaithan yang mengabarkan perkara-perkara ghaib yang dicuri dari langit. Kemudian para dukun itu menyampaikan berita tersebut dengan tambahan kedustaan. Di antara mereka ada yang mendatangi syaithan dengan membawa makanan, buah-buahan, dan lain-lain (untuk dipersembahkan) … . Dengan bantuan jin, mereka ada yang dapat terbang ke Makkah atau Baitul Maqdis atau tempat lainnya.” (Kitabut Tauhid, Syaikh Fauzan halaman 25)

Sungguh benar kabar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengenai syaithan yang mencuri berita dari langit. Diceritakan dalam sebuah hadits :

Tatkala Allah memutuskan perkara di langit, para Malaikat mengepakkan sayap, mereka merasa tunduk dengan firman-Nya, seolah-olah kepakan sayap itu bunyi gemerincing rantai di atas batu besar. Ketika telah hilang rasa takut, mereka saling bertanya : “Apakah yang dikatakan Rabbmu? Dia berkata tentang kebenaran dan Dia Maha Tinggi lagi Maha Besar.” Lalu firman Allah itu didengar oleh pencuri berita langit. Para pencuri berita itu saling memanggul (untuk sampai di langit), lalu melemparkan hasil curiannya itu kepada teman di bawahnya. (HR. Bukhari dari Abi Hurairah radliyallahu ‘anhu)

Seorang dukun atau paranormal yang memberitakan perkara-perkara ghaib sebenarnya menerima kabar dari syaithan itu dengan jalan melihat letak bintang untuk menentukan atau mengetahui peristiwa-peristiwa di bumi, seperti letak benda yang hilang, nasib seseorang, perubahan musim, dan lain-lain. Inilah yang biasa disebut ilmu perbintangan atau tanjim. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :

“ … Kemudian melemparkan benda itu kepada orang yang di bawahnya sampai akhirnya kepada dukun atau tukang sihir. Terkadang setan itu terkena panah bintang sebelum menyerahkan berita dan terkadang berhasil. Lalu setan itu menambah berita itu dengan seratus kedustaan.” (HR. Bukhari dari Abi Hurairah radliyallahu ‘anhu)

Meskipun demikian, masih banyak orang yang mempercayai dan mau mendatangi peramal atau astrolog atau para dukun, bukan saja dari kalangan orang yang berpendidikan dan ekonomi rendahan bahkan dari orang-orang yang berpendidikan dan berstatus sosial tinggi. Perbuatan orang yang mendatangi atau yang didatangi dalam hal ini para dukun sama-sama mendapatkan dosa dan ancaman keras dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam berupa dosa syirik dan tidak diterima shalatnya selama 40 malam.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Barangsiapa yang mendatangi dukun dan menanyakan tentang sesuatu lalu membenarkannya, maka tidak diterima shalatnya 40 malam.” (HR. Muslim dari sebagian istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam)

Pada kesempatan lain, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam juga mengancam mereka tergolong orang-orang yang ingkar (kufur) dengan apa yang dibawa beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :

“Barangsiapa yang mendatangi dukun (peramal) dan membenarkan apa yang dikatakannya, sungguh ia telah ingkar (kufur) dengan apa yang dibawa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.” (HR. Abu Dawud)

Ancaman dalam hadits di atas berlaku untuk yang mendatangi dan menanyakan, baik membenarkan atau tidak. (Syaikh Abdurrahman Alu Syaikh 1979)

Tujuan Penciptaan Bintang-Bintang

Alam dan segala isinya diciptakan dengan hikmah karena diciptakan oleh Dzat yang memiliki sifat Maha Memberi Hikmah dan Maha Mengetahui. Dia Maha Mengetahui apa yang di depan dan di balik ciptaan-Nya. Sehingga mustahil Allah mencipta makhluk dengan main-main. Sebab itu, kewajiban atas makhluk-Nya ialah tunduk dan menerima berita, perintah, dan larangan-Nya. Sebagai contoh, yang berhubungan dengan pembahasan kali ini ialah penciptaan bintang-bintang di langit.

Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitakan bahwa penciptaan bintang-bintang itu ialah untuk penerang, hiasan langit, penunjuk jalan, dan pelempar setan yang mencuri wahyu yang sedang diucapkan di hadapan para malaikat. Sebagaimana Dia firmankan :

“Dan sungguh, Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar setan.” (QS. Al Mulk : 5)

Dalam kitab Shahih Bukhari disebutkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan bintang- bintang itu untuk tujuan sebagai hiasan langit, alat pelempar setan, dan rambu-rambu jalan. Maka barangsiapa mempergunakannya untuk selain tujuan itu, sungguh terjerumus ke dalam kesalahan, kehilangan bagian akhiratnya, dan terbebani dengan satu hal yang tak diketahuinya. (Perkataan dalam kitab Shahih Bukhari di atas adalah ucapan Qatadah rahimahullah)

Hukum Mempelajari Ilmu Falak

Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan hukum mempelajari ilmu perbintangan atau ilmu falak (astrologi). Qatadah rahimahullah (seorang tabi’in) dan Sufyan bin Uyainah (seorang ulama hadits, wafat pada tahun 198 H) mengharamkan secara mutlak mempelajari ilmu falak. Sedangkan Imam Ahmad dan Ishaq rahimahullah memperbolehkan dengan syarat tertentu. Menurut Syaikh Muhammad bin Abdil Aziz As Sulaiman Al Qarawi –yang berusaha mengkompromikan perbedaan pendapat para ulama di atas– bahwa mempelajarinya adalah :

Pertama, kafir bila meyakini bintang-bintang itu sendiri yang mempengaruhi segala aktivitas makhluk di bumi. Ini yang pertama.

Kedua, mempelajarinya untuk menentukan kejadian-kejadian yang ada, akan tetapi semua itu diyakini karena takdir dan kehendak-Nya. Maka yang kedua ini hukumnya haram.

Ketiga, mempelajarinya untuk mengetahui arah kiblat, penunjuk jalan, waktu, menurut jumhur ulama hal ini diperbolehkan (jaiz).

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa mengaku mengetahui ilmu ghaib menyebabkan pelakunya kafir. Sedangkan mendatangi dukun dan bertanya kepadanya, hukumnya haram, baik ia membenarkan atau tidak. Dan yang disebut dukun sekarang ini banyak julukannya. Kadang ia disebut orang pintar atau paranormal, astrolog, fortuneteller, atau yang lainnya. Walaupun begitu, hakikatnya sama saja. Penggunaan julukan yang berbeda-beda hanyalah sebagai pelaris dagangan saja (atau agar terkesan tidak ketinggalan jaman). Hal ini karena mempelajari ilmu falak yang ditujukan untuk meramal nasib atau mengaku mengetahui ilmu ghaib merupakan tindakan kekufuran. Tujuan penciptaan bintang adalah sebagaimana yang telah diterangkan Allah dan para ulama, bukan untuk mengetahui perkara ghaib seperti yang diyakini oleh sebagian besar astrolog. Ayat yang mengatakan :

“Dan (Dia ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). Dan dengan bintang-bintang itulah mereka (mendapat petunjuk).” (QS. An Nahl : 16)

Maksudnya, agar manusia mengetahui arah jalan dengan mengetahui letak bintang-bintang, bukan untuk mengetahui perkara ghaib. Banyak hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang mengharamkan dan melarang mempelajari ilmu nujum (perbintangan) dengan tujuan yang dilarang syariat, seperti hadits :

“Barangsiapa mempelajari satu cabang dari cabang ilmu nujum (perbintangan) sungguh ia telah mempelajari satu cabang ilmu sihir … .” (HR. Ahmad[1], Abu Dawud, dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas)

Sementara Islam mengharamkan orang yang menyihir atau meminta sihir. Dan mengaku mengetahui ilmu ghaib merupakan perkara yang membatalkan atau menggugurkan tauhid dan keimanan orang karena menandingi Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam sifat Rububiyah. (Kitabut Tauhid, Syaikh Fauzan halaman 25)

Wallahul Musta’an.

[1] Hadits hasan, dihasankan oleh Syaikh Ibnu Alis Sinan dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ nomor 5950 dan dalam Ash Shahihah nomor 793.

(SALAFY XIX/1418/1997)

Posted in Akidah | Dengan kaitkata: | Leave a Comment »

Biografi Syaikh Ahmad bin Yahya an Najmi rahimahullah

Posted by ahlussunnahcianjur pada Juli 24, 2008

Biografi Syaikh Ahmad bin Yahya an Najmi rahimahullah

Penulis: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari

Kedudukan ulama rabbani sangatlah tinggi dalam Dien yang mulia ini. Allah Ta’ala telah mengangkat derajat mereka dan memuji mereka dalam Tanzil-Nya. Demikian pula pujian datang lewat lisan Rasul-Nya dalam mutiara-mutiara hikmah yang beliau tuturkan. Dan tidak ada yang tahu kadar ulama dan memuliakannya sesuai dengan apa yang berhak mereka dapatkan kecuali orang-orang yang mulia. Karena itu, sepantasnyalah bagi orang yang ingin mendapatkan kemuliaan untuk mengagungkan mereka lewat lisan dan tulisan, tidak melanggar kehormatan mereka dan tidak merendahkan mereka.

Telah datang ayat-ayat Quran, hadits-hadits nabawiyah dan atsar-atsar pilihan yang berisi larangan dari perbuatan tersebut. Satu dari ulama rabbani yang memiliki hak untuk kita muliakan adalah As-Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi, seorang alim yang sekarang menjadi mufti di daerah Jizaan. Salah seorang murid beliau, As-Syaikh Muhammad bin Hadi bin Ali Al-Madkhali menuturkan secara ringkas cerita hidup beliau sebagaimana dinukilkan dalam Ibrah kali ini. Semoga semangat ilmiah dan amaliyah beliau dapat menjadi ibrah bagi kita.

NAMA DAN NASAB BELIAU
Beliau adalah Asy-Syaikh Al-Fadlil Al-Allamah, Al-Muhaddits, Al-Musnad, Al-Faqih, mufti daerah Jizaan, pembawa bendera sunnah dan hadits disana. As-Syaikh Ahmad bin Yahya bin Muhammad bin Syabir An-Najmi dari keluarga Syabir dari Bani Hummad, salah satu kabilah yang terkenal di daerah Jizaan.

Terlahir di Najamiyah pada tanggal 26 Syawwal 1346 hijriyah [wafat pada tanggal 19 Rajab 1429 H / 23 Juli 2008 pagi], beliau tumbuh dalam asuhan dua orang tua yang shalih. Keduanya bahkan bernadzar untuk Allah dalam urusan putranya ini, yaitu mereka berdua tidak akan membebani Ahmad An-Najmi kecil dengan satu pun dari pekerjaan dunia. Dan sungguh Allah telah merealisasikan apa yang diinginkan pasangan hamba-Nya ini.

Ayah dan ibu yang shalih ini menjaga beliau dengan sebaik-baiknya, sampai-sampai keduanya tidak meninggalkan beliau bermain bersama anak-anak yang lain. Ketika mencapai usia tamyiz, ayah dan ibu yang mulia ini memasukkan beliau ke tempat belajar yang ada di kampungnya. Disini beliau belajar membaca dan menulis. Demikian pula membaca Al-Qur`an, beliau pelajari disini sampai tiga kali sebelum kedatangan As-Syaikh Abdullah Al-Qar’aawii rahimahullah pada tahun 1358 hijriyah.

Pertama kali beliau membaca Al-Qur`an di bawah bimbingan As-Syaikh Abduh bin Muhammad Aqil An-Najmi tahun 1355 hijriyah. Kemudian beliau membacanya di hadapan As-Syaikh Yahya Faqih Absi -seorang yang berpemahaman Asy’ari- yang semula merupakan penduduk Yaman lalu datang dan bermukim di Najamiyah. Tahun 1358, As-Syaikh Ahmad An-Najmi masih belajar pada orang ini. Ketika datang As-Syaikh Abdullah Al-Qar’aawii terjadi perdebatan antara keduanya (antara As-Syaikh Yahya Faqih Absi dan As-Syaikh Al-Qar’aawii) dalam masalah istiwa. Dan Allah Ta’ala berkehendak untuk memenangkan Al-Haq hingga As-Syaikh Yahya yang Asy’ari ini kalah dan pada akhirnya meninggalkan Najamiyah.

SEKITAR KISAH BELIAU DALAM BELAJAR ILMU
Pada tahun 1359, setelah perginya guru beliau yang berpemahaman Asy’ari, As-Syaikh Ahmad An-Najmi bersama kedua paman beliau, As-Syaikh Hasan dan As-Syaikh Husein bin Muhammad An-Najmi sering menjumpai As-Syaikh Abdullah Al-Qar’aawi di kota Shaamithah. Kemudian pada tahun berikutnya beliau masuk ke Madrasah As-Salafiyah. Dan pada kali ini beliau membaca Al-Qur`an dengan perintah As-Syaikh Abdullah Al-Qar’aawii rahimahullah di hadapan As-Syaikh Utsman bin Utsman Hamli rahimahullah. Beliau menghafal Tuhfatul Athfal, Hidayatul Mustafid, Ats-Tsalatsatul Ushul, Al-Arba’in An-Nawawiyah dan Al-Hisab. Beliau juga memantapkan pelajaran khath.

Di Madrasah As-Salafiyah, As-Syaikh Ahmad An-Najmi yang masih belia ini duduk di majlis yang ditetapkan oleh As-Syaikh Al-Qar’aawii sampai murid-murid kecil pulang ke rumah masing-masing setelah shalat dhuhur. Namun As-Syaikh Ahmad An-Najmi tidak ikut pulang bersama mereka. Beliau malah ikut masuk ke halaqah yang diperuntukkan bagi orang dewasa / murid-murid senior yang diajari langsung oleh As-Syaikh Al-Qar’aawii. Beliau duduk bersama mereka dari mulai selesai shalat dhuhur sampai datang waktu Isya. Setelah itu baru beliau kembali bersama kedua paman beliau ke kediamannya.

Hal demikian berlangsung sampai empat bulan hingga akhirnya As-Syaikh Al-Qar’aawii mengijinkan beliau untuk bergabung dengan halaqah kibaar ini. Di hadapan As-Syaikh Al-Qar’aawii beliau membaca kitab Ar-Rahabiyah dalam ilmu Fara’id, Al-Aajurumiyah dalam ilmu Nahwu, Kitabut Tauhid, Bulughul Maram, Al-Baiquniyah, Nukhbatul Fikr dan syarahnya Nuzhatun Nadhar, Mukhtasharaat fis Sirah, Tashriful Ghazii, Al-‘Awaamil fin Nahwi Mi’ah, Al-Waraqaat dalam Ushul Fiqih, Al-Aqidah Ath-Thahawiyah dengan syarah / penjelasan dari As-Syaikh Abdullah Al-Qar’aawii sebelum mereka diajarkan Syarah Ibnu Abil ‘Izzi terhadap Aqidah Thahawiyah ini. Beliau juga mempelajari beberapa hal dari kitab Al-Alfiyah karya Ibnu Malik, Ad-Durarul Bahiyah dengan syarahnya Ad-Daraaril Mudliyah dalam fiqih karya Al-Imam Syaukani rahimahullah. Dan masih banyak lagi kitab lainnya yang beliau pelajari, baik kitab tersebut dipelajari secara kontinyu -sebagaimana kitab-kitab yang disebutkan di atas- maupun kitab-kitab yang digunakan sebagai perluasan wawasan dari beberapa risalah-risalah dan kitab-kitab kecil dan kitab-kitab yang dijadikan rujukan ketika diadakan pembahasan ilmiyah seperti Nailul Authar, Zaadul Ma’aad, Nurul Yaqin, Al-Muwatha’ dan kitab-kitab induk (Al-Ummahat).

Pada tahun 1362 hijriyah, As-Syaikh Abdullah Al-Qar’aawii mengajarkan di halaqah kibar ini kitab-kitab induk yang ada di perpustakaan beliau seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Daud, Sunan Nasa’i dan Muwaththa’ Imam Malik. Mereka yang membacakan kitab-kitab tersebut di hadapan beliau. Namun mereka tidak sampai menyelesaikan kitab-kitab tersebut karena mereka harus berpisah satu dengan lainnya disebabkan paceklik yang menimpa.

Dan dengan keutamaan dari Allah, pada tahun 1364 mereka dapat kembali ke tempat belajar mereka dan melanjutkan apa yang semula mereka tinggalkan. As-Syaikh Abdullah kemudian memberi izin kepada As-Syaikh Ahmad An-Najmi untuk meriwayatkan kitab induk yang enam (Al-Ummahat As-Sitt).

Waktu berjalan hingga sampai pada tahun 1369. Beliau berkesempatan untuk belajar kitab Ishlahul Mujtama’ dan kitab Al-Irsyad ila Ma’rifatil Ahkam karya As-Syaikh Abdurrahman bin Sa’di rahimahullah dalam masalah fiqih yang disusun dalam bentuk tanya jawab. Dua kitab ini beliau pelajari dari As-Syaikh Ibrahim bin Muhammad Al-‘Amuudi rahimahullah seorang qadli daerah Shaamith pada waktu itu. Beliau berkesempatan pula untuk belajar Nahwu pada As-Syaikh Ali bin Syaikh Utsman Ziyaad Ash-Shomaalii dengan perintah As-Syaikh Abdullah Al-Qar’aawii rahimahullah dengan membahas kitab Al-‘Awwamil fin Nahwi Mi’ah dan kitab-kitab lainnya.

Tahun 1384, beliau hadir dalam halaqah Syaikh Al-Imam Al-‘Allamah Mufti negeri Saudi Arabia As-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alus Syaikh rahimahullah selama hampir dua bulan untuk mempelajari tafsir dalam hal ini Tafsir Ibnu Jarir Ath-Thabari dengan pembaca kitab Abdul Aziz Asy-Syalhuub. Pada tahun yang sama beliau juga hadir dalam halaqah Syaikh Al-Imam Al-‘Allamah As-Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah selama kurang lebih satu setengah bulan guna mempelajari Shahih Bukhari. Majelis yang terakhir ini diadakan antara waktu Maghrib dan Isya’.

GURU-GURU BELIAU
Syaikh Ahmad An-Najmi memiliki beberapa orang guru sebagaimana bisa dibaca pada keterangan di atas. Guru-guru beliau adalah:
1) As-Syaikh Ibrahim bin Muhammad Al-‘Amuudi, seorang qadli di daerah Shaamithah pada zamannya.

2) As-Syaikh Hafidh bin Ahmad Al-Hakami

3) As-Syaikh Al-Allamah Ad-Da’iyah Al-Mujaddid di daerah selatan kerajaan Saudi Arabia Abdullah Al-Qar’aawii, beliau adalah guru yang paling banyak memberikan faedah kepada As-Syaikh Ahmad An-Najmi.

4) As-Syaikh Abduh bin Muhammad Aqil An-Najmi

5) As-Syaikh Utsman bin Utsman Hamli

6) As-Syaikh Ali bin Syaikh Utsman Ziyaad Ash-Shomaali

7) As-Syaikh Al-Imam Al-Allamah Mufti negeri Saudi Arabia yang dahulu, Muhammad bin Ibrahim Alus Syaikh.

8) As-Syaikh Yahya Faqih Absi Al-Yamani

MURID-MURID BELIAU
As-Syaikh Ahmad An-Najmi hafidhahullah memiliki murid yang sangat banyak, seandainya ada yang mencoba menghitungnya niscaya ia membutuhkan ribuan lembaran kertas. Namun disini cukup disebutkan tiga orang saja yang ketiganya masyhur dalam bidang keilmuan. Mereka adalah:

1) As-Syaikh Al-Allamah Al-Muhaddits penolong Sunnah, As-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali.

2) As-Syaikh Al-Allamah Al-Faqih Zaid bin Muhammad Hadi Al-Madkhali.

3) As-Syaikh Al-Alim Al-Fadlil Ali bin Nashir Al-Faqiihi.

KECERDASAN BELIAU
Allah Ta’ala menganugerahkan kepada beliau kecerdasan yang tinggi sekali. Berikut ini kisah yang menunjukkan kecerdasan dan kemampuan menghafal beliau sejak kecil -semoga Allah menjaga beliau-:

Berkata As-Syaikh Umar bin Ahmad Jaradii Al-Madkhali -semoga Allah memberi taufik kepada beliau-: “Tatkala As-Syaikh Ahmad An-Najmi hadir bersama kedua pamannya Hasan dan Husein An-Najmi di Madrasah As-Salafiyah di Shaamithah, tahun 1359 hijriyah, umur beliau saat itu 13 tahun namun beliau mampu mendengarkan dan memahami pelajaran-pelajaran yang disampaikan oleh As-Syaikh Abdullah Al-Qar’aawii kepada murid-murid seniornya. Dan beliau benar-benar menghafal pelajaran-pelajaran tersebut.”

Aku katakan (yakni As-Syaikh Muhammad bin Hadi bin Ali Al-Madkhali): “Inilah yang menyebabkan As-Syaikh Abdullah Al-Qar’aawii menggabungkannya pada halaqah kibaar yang beliau tangani sendiri pengajarannya. Beliau melihat bagaimana kepandaiannya, kecepatan hafalannya dan kecerdasannya.”

KESIBUKAN BELIAU DALAM MENYEBARKAN ILMU
As-Syaikh Ahmad An-Najmi menyibukkan dirinya dengan mengajar di madrasah-madrasah milik gurunya As-Syaikh Al-Qar’aawii rahimahullah semata-mata karena mengaharapkan pahala. Pada tahun 1367 hijriyah beliau mengajar di kampungnya An-Najamiyah. Lima tahun kemudian (tahun 1372) beliau pindah ke tempat yang bernama Abu Sabilah di Hurrats. Disana beliau menjadi imam dan guru. Pada tahun berikutnya ketika dibuka Ma’had Ilmi di Shaamithah, beliau menjadi guru disana sampai tahun 1384 hijriyah. Saat itu beliau memutuskan untuk safar ke Madinah guna mengajar di Jami’ah Al-Islamiyah disana, namun ternyata beliau mendapat tugas yang lain sehingga beliau harus kembali ke daerah Jaazaan. Disini Allah menghendaki agar beliau menjadi seorang penasehat dan pemberi bimbingan, dan beliau menjalankan tugas beliau dengan sebaik-baiknya.

Tahun 1387, beliau mengajar di Ma’had Ilmi di kota Jazaan sesuai dengan permintaan beliau. Pada awal pengajaran tahun 1389 beliau kembali mengajar di Ma’had Shaamithah dan beliau tinggal disana sebagai guru hingga tahun 1410.

Sejak saat itu sampai ditulisnya biografi ini, beliau menyibukkan diri dengan mengajar di rumahnya dan di masjid yang berdekatan dengan rumah beliau serta di masjid-masjid lain dengan tetap menjalankan tugas beliau sebagai mufti.

Beliau -hafidhahullah- dengan semua aktifitas ilmiahnya telah menjalankan wasiat gurunya untuk terus mengajar dan menjaga / memperhatikan para pelajar, khususnya pelajar asing dan mereka yang terputus bekal / nafkahnya dalam penuntutan ilmu. Dan kita dapatkan beliau -semoga Allah menjaganya- memiliki kesabaran yang menakjubkan. Semoga Allah membalasnya dengan kebaikan atas apa yang telah dia berikan kepada kita.

Dengan wasiat As-Syaikh Al-Qar’aawii juga, beliau terus melakukan pembahasan ilmiyah dan mengambil faedah, khususnya dalam ilmu hadits dan fiqih serta ushul ilmu hadits dan ushul fiqih, hingga beliau mencapai keutamaan dengannya melebihi teman-temannya. Semoga Allah memberkahi umur beliau dan ilmu beliau, dan semoga Allah memberi manfaat dengan kesungguhan beliau.

KARYA ILMIAH BELIAU
Beliau banyak memiliki karya-karya tulis ilmiah, sebagiannya sudah dicetak dan sebagian lagi belum dicetak. Semoga Allah memudahkan dicetaknya seluruh karya beliau agar kemanfaatannya tersampaikan pada ummat. Di antara karya beliau:

1) Awdlahul Irsyad fir Rad ‘ala Man Abaahal Mamnuu’ minaz Ziyaarah

2) Ta’sisul Ahkam Syarah Umdatul Ahkam, telah dicetak dari karya ini satu juz yang kecil / tipis sekali.

3) Tanzihusy Syari’ah ‘an Ibaahatil Aghaanil Khali’ah.

4) Risalatul Irsyaad ila Bayanil Haq fi Hukmil Jihaad.

5) Risalah fi Hukmil Jahri bil Basmalah

6) Fathur Rabbil Waduud fil Fatawa war Ruduud.

7) Al-Mawridul ‘Udzbuz Zalaal fiimaa Intaqada ‘ala Ba’dlil Manaahijid Da’wiyah minal ‘Aqaaid wal A’maal.

Dan masih banyak lagi dari tulisan-tulisan beliau yang bermanfaat yang beliau persembahkan untuk kaum muslimin, semoga Allah membalas beliau dengan sebaik-baik pahala dan semoga Allah menjadikannya bermanfaat bagi Islam dan muslimin.

Demikian akhir biografi beliau yang dapat kami haturkan pada para pembaca, walhamdulillah ***

[Biografi dalam bahasa Inggris diterjemahkan Isma’eel Alarcon http://www.al-ibaanah.com/bios.php?BioID=18 ]

(Diterjemahkan secara ringkas oleh Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari dari mukaddimah kitab Al-Mawridul ‘Udzbuz Zalaal fiimaa Intaqada ‘ala Ba’dlil Manaahijid Da’wiyah minal ‘Aqaaid wal A’maal, hal 3-10, dari tulisan Asy-Syaikh Muhammad bin Hadi bin Ali Al-Madkhali, murid syaikh Ahmad an Najmi, dosen Fakultas Hadits Universitas Islam Madinah. URL sumber http://darussalaf.org/myprint.php?id=630)

dari : http://www.salafy.or.id

Posted in Biografi | Leave a Comment »

Dakwah Tauhid Dakwah yang Haq

Posted by ahlussunnahcianjur pada Juli 24, 2008

Dakwah Tauhid Dakwah yang Haq

Penulis: Syaikh Abdul Malik bin Ahmad Ramadhany

Atau ada juga kelompok-kelompok dakwah yang menghabiskan waktunya untuk menyerang atau mengkritik pemerintah dengan tujuan memperbaiki masyarakat atau dengan cara politik untuk menghancurkan pemerintah dengan tanpa memperdulikan kerusakan aqidah para pengikutnya.

Mengikhlaskan agama hanya untuk Allah ( Tauhid ) merupakan pokok ajaran agama islam, yang mana karena hal tersebut inilah Allah menurunkan kitab-kitab-Nya serta mengutus para Rasul, dan seluruh para Nabi menyerukan ( menda’wahkan ) hal ini serta berjihad dengannya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan dalam firman-Nya :
“Maka sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ( memurnikan ) agama ini.”
(QS. Az-Zumar : 2).

Dalam firman-Nya yang lain :
“Dan tidaklah mereka diperintah kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan ( memurnikan ) agama ini bagi-Nya.” (QS. Al-Bayyinah : 5).

Dan kedudukan Tauhid itu ibarat pondasi pada sebuah bangunan.
Al Imam Ibnu Qoyyim rahimahullah berkata : “Barang siapa yang ingin meninggikan bangunan, maka wajib atasnya untuk menguatkan dan memantapkan pondasinya serta bersungguh- sungguh untuk menfokuskan perhatian kepadanya, karena tingginya bangunan tersebut tergantung pada kuat serta mantapnya pondasi itu. Maka amalan dan tingkatan-tingkatannya adalah ( ibarat ) bangunan dan pondasinya adalah keimanan. Maka orang yang bijaksana itu cita- citanya adalah membetulkan dan memantapkan pondasi, adapun orang yang bodoh (adalah orang yang) mendirikan bangunan tanpa adanya pondasi, sehingga tidak lama bangunannya akan runtuh.

Allah Ta’ala berfirman :
“Maka apakah orang-orang yang mendirikan masjidnya di atas dasar takwa kepada Allah dan keridhoan-Nya itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama kedalam neraka jahanam ? Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang dholim,”
(QS. At-Taubah : 109) .
(lihat keterangan ini dalam kitab Al-Fawaid, hal 204).

Aku (Syaikh Abdul Malik Ramadhany) katakan : “Ayat ini turun tentang orang-orang munafik yng membangun masjid untuk ditegakkan sholat di dalamnya. Akan tetapi ketika mereka mengerjakan amalan yang agung serta mulia ini, hati mereka kosong dari keikhlasan dan tidak bermanfat bagi mereka sedikitpun, bahkan mereka jatuh kedalam neraka jahanam sebagaimana tersebut dalam ayat ini.” (lihat kitab Sittu Duror, hal 13-14)”.

Al Imam Ibnul Qoyyim menyatakan :
“Pondasi itu ada dua hal :
Pertama : Benarnya pengenalan kepada Allah dan perintah-Nya serta nama-nama dan sifat-sifat- Nya.
Kedua : Memurnikan ketundukan kepada Allah dan Rasul-Nya, tidak kepada yang lainnya. Maka ini adalah sekuat-kuatnya pondasi yang di gunakan seorang hamba untuk bangunannya.”

Ketika Tauhid itu ibarat pondasi bagi sebuah bangunan dan akar dari sebuah pohon, maka perintah pertama yang kita jumpai ketika kita membuka Al-Qur’an dari awal adalah firman Allah Ta’ala :
“Wahai manusia beribadahlah kepada Rabb kalian yang menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian agar kalian menjadi orang-orang yang bertakwa.”
(QS. Al Baqarah : 21).

Kemudian setelah ayat ini langsung diikuti dengan larangan dari apa-apa yang menentang Tauhid, yakni syirik. Allah berfirman :
“Maka janganlah kalian jadikan tandingan-tandingan (sekutu) bagi Allah sedangkan kalian mengetahuinya “ (QS. Al Baqarah : 22).

Di sini terdapat faedah yang besar, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak hanya memerintahkan kepada kita untuk beribadah kepada-Nya, akan tetapi Allah melarang kita dari apa-apa yang membatalkan hal tersebut, yaitu beribadah kepada selain-Nya (syirik). Maka lihatlah di dalam Al Qur’an, kita akan menjumpai hukum yang berturut-turut, diantaranya firman Allah :
“Sembahlah Allah dan janganlah kalian menyekutukan dengan selain-Nya,”
(QS. An-Nisa : 36).

Dalam firman-Nya yang lain :
“Dan sungguh kami tidak mengutus seorang Rasul pada setiap ummat (untuk menyeru) “sembahlah Allah dan jauhilah taghut.”
(QS. An-Nahl : 36).

Syaikh Mubarok Al-Mily berkata : “Tidak cukup di dalam dua kalimat syahadat dengan semata bertauhid saja, sampai dia meniadakan berbagai macam sesembahan yang lain dan membatasi syari’at ini hanya pada seseorang yang di utus untuk menyampaikan agama ini (yaitu Rasulullah shalallahu wa sallam).

Syirik adalah perbuatan haram nomor satu yang di larang oleh Allah Ta’ala sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya :
“Katakanlah (wahai Muhammad), “marilah kalian, akan aku bacakan apa saja yang di haramkan oleh Rabb kalian atas kalian, yaitu janganlah kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun…”
(QS. Al-An’am : 151).

Dan wasiat petama yang di wasiatkan oleh Luqman Al-Hakkim kepada putranya adalah :
“Wahai anakku, janganlah kamu menyekutukan Allah (syirik) itu adalah kedholiman yang sangat besar. “ (QS. Luqman : 13).

Dalam Tauhid itu adalah wasiat para Nabi ketika akan menghadapi kematian.
Allah Ta’ala berfirman :
“Adakah kami hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) kematian, ketika itu ia berkata kepada anaknnya “Apakah yang kalian sembah sepeninggalku ? “Mereka menjawab : “Kami akan menyembah tuhanmu dan tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail, dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa, dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.”
(QS. Al-Baqarah : 133)

Oleh karena itu, para da’i yang mengajak untuk bertauhid adalah seutama-utama da’i, karena dakwah tauhid adalah dakwah yang menyeru kepada derajat iman yang paling tinggi. Sebagaimana di nyatakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam :
“Iman itu ada tujuh puluh atau enam puluh lebih cabang yang paling utama adalah kalimat Laa ilaha illallah, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang keimanan.” (HR. Muslim).

Imam An-Nawawi rahimahullah menyatakan :
“Rasulullah telah mengingatkan bahwa cabang keimanan yang paling utama adalah Tauhid yang wajib atas setiap orang (untuk mengetahui ) dan tidak sah sesuatu pun dari cabang-cabang tersebut kecuali setelah benarnya Tauhid,” (lihat kitab Syarah Shohih Muslim jilid 1, hal 20).

Aku (Syaikh Abdul Malik Ramadhany) katakan :
“Akan tetapi cabang-cabang keimanan ini tidak akan tumbuh dalam hati seseorang dan tidak akan berbuah pada anggota badannya kecuali sesuai dengan (seberapa jauh makna) kalimat thoyyibah ini di laksanakan oleh seorang hamba.”
Hal ini di karenakan bagusnya hati pada jasad. Dalam sebuah hadist dari An-Nu’man bin Basyir radhiayallahu’anhu, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Sesungguhnya di dalam tubuh seseorang itu terdapat segumpal daging, Jika ia baik, maka akan baiklah seluruh anggota tubuh. Jika ia rusak, maka akan rusaklah seluruh anggota tubuh. Ketahuilah, dia itu adalah hati.” (HR. Bukhori-Muslim).

Di dalam hadits ini terdapat dalil yang jelas bahwa memperbaiki Tauhid adalah pokok segala kebaikan dan perkara yang paling agung. Oleh karena itu seluruh dakwah yang menyerukan kepada kebaikan yang tidak memusatkan pada urusan Tauhid, akan mengalami penyelewengan (penyimpangan) sesuai dengan jauhnya dia dari pokok yang mulia ini, yaitu Tauhid.

Seperti mereka (kelompok-kelompok dakwah) yang menghabiskan waktunya untuk memperbaiki hubungan sesama manusia tetapi hubungan dengan Allah (yaitu perkara Aqidahnya) tidak sesuai dengan tuntunan salafus shalih.

Atau ada juga kelompok-kelompok dakwah yang menghabiskan waktunya untuk menyerang atau mengkritik pemerintah dengan tujuan memperbaiki masyarakat atau dengan cara politik untuk menghancurkan pemerintah dengan tanpa memperdulikan kerusakan aqidah para pengikutnya.

Atau ada juga mereka (kelompok-kelompok dakwah) yang dalam dakwahnya tidak memperhatikan dan tidak memulai dakwahnya pada Tauhid dengan anggapan bahwa Tauhid itu akan memecah belah umat, atau umat akan lari darinya, atau juga dengan anggapan bahwa masyarakat sudah paham semua tentang Tauhid sehingga mereka dengungkan (dakwahkan) setiap saat adalah bagaimana membentuk daulah Islam (Negara Islam).

Apakah mereka tidak mendengar do’a Nabi Ibrahim alaihis salam yang mana beliau kuatir terjatuh dalam kesyirikan, beliau berdo’a :
“Wahai Tuhanku, jadikanlah negeri kami ini negeri yang aman, serta jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari penyembahan kepada patung-patung (berhala). Wahai Tuhanku, sesungguhnya mereka (berhala-berhala itu) telah menyesatkan mayoritas manusia. “ (QS. Ibrahim : 35-36).

Oleh karena itu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menekankan kepada para da’i agar mementingkan masalah tauhid serta memulai dakwahnya dengan tauhid itu. Sebagaimana di riwayatkan dalam sebuah hadist dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Mu’adz bin Jabal ketika dia di utus ka Yaman :
“Sesungguhnya kamu akan mendatangi suatu kaum dari ahli kitab. Maka jika kamu datang kepada mereka, jadikanlah pertama kali yang kamu dakwahkan kepada mereka adalah “beribadahlah kalian kepada Allah (Dalam riwayat yang lain : “Agar kalian mentauhidkan Allah). “
(HR. Bukhori- Muslim).

Oleh karena itu awalilah dakwah yang kita lakukan ini dengan dakwah tauhid sebagaimana yang di perintahkan oleh Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam.Wallahu A’lamu bishshowwab.

Maraji’ : Kitab Sittu Durar min Ushuli Ahlil Atsar, karya Syaikh Abdul Malik bin Ahmad Ramadhany, di terjemahkan oleh Ustadz Muhammad Irfan.

Sumber : BULETIN DAKWAH AT-TASHFIYYAH, Surabaya EDISI : 02 / SYAWAL / 1424

Posted in Akidah | 2 Comments »